Apakah kita harus bersetuju bahwa Belanda mulai menjajah Indonesia bersamaan dengan berdirinya VOC pada 1602? Ada pula versi yang mengatakan penjajahan dimulai pada 1596, ketika kakak beradik De Houtman tiba di Banten. Tapi itu pun sulit disebut sebagai awal penjajahan Belanda, karena Cornelis de Houtman cuma melakukan penjajakan. Belanda belum benar-benar menjajah. Jika awal penjajahan tahun 1602 ditambah 350, kita baru merdeka pada 1952. Bagaimana dengan proklamasi 17 Agustus 1945 dan pengakuan Belanda pada kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949?
Sebenarnya banyak sekali dampak
buruk kolonialisme Belanda di Indonesia. Tapi, mengapa kita selalu menekankan
lamanya kolonialisme yang justru tidak benar itu? Ini bukti betapa kita
benar-benar buta sejarah, selain akibat ulah Orde Baru menghapus sejarah,
mereduksinya hanya sebagai angka tahun dan peristiwa belaka. Sejarah sebagai
narasi tentang perubahan, pergeseran dan perkembangan pemikiran tetap asing
bagi kita.
Bagaimana sebaiknya melihat
penjajahan Belanda serta pelbagai macam aspek negatifnya? Pernyataan “Belanda
menjajah Indonesia selama 350 tahun” mengandung banyak ketidakbenaran dan salah
persepsi. Tidak ada satu pun wilayah Indonesia yang benar-benar dijajah selama
350 tahun. Maluku dan Banten/Jakarta sebagai markas besar VOC mengalami
penjajahan maksimal selama 340 tahun. Bahkan Maluku atau Ambon baru Belanda
kuasai pada 1630, kalau dihitung dari 1602 sampai 1942 ketika Jepang masuk,
Belanda jelas sudah tidak efektif lagi menguasai Nusantara.
Selain Banten/Jakarta dan
Maluku, Belanda bertahap menundukkan wilayah-wilayah Nusantara. Kebanyakan baru
berlangsung pada abad ke-20 ketika kolonialismenya bercorak Politik Etis. Sisi
lain Politik Etis yang bertujuan mendidik kaum inlanders, oleh orang
Belanda disebut sebagai pacificatie, gampangnya penaklukan
wilayah-wilayah luar Jawa. Aceh baru ditaklukkan pada 1904 –bahkan Belanda baru
sepenuhnya berkuasa pada 1912–, dan Bali dikuasai pada 1906. Dengan begitu Aceh
maksimal dijajah Belanda selama 38 tahun dan Bali selama 36 tahun.
Artinya, kita tidak bisa pukul
rata bahwa seluruh wilayah Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun. Kalau
itu tetap dilakukan, kita akan keliru memahami perjuangan orang-orang Aceh dan
Bali yang mempertahankan wilayahnya dari pendudukan Belanda. Kita juga akan
salah memahami kepahlawanan Tjoet Njak Dien, karena dia mati-matian mempertahankan
kemerdekaan dan kedaulatan Aceh. Bukan karena Tjoet Njak memberontak terhadap
(penjajahan) Belanda. Waktu itu, Aceh belum dikuasai Belanda. Sampai akhir abad
ke-19 Aceh merupakan sebuah negara berdaulat, bahkan memiliki duta besar di
Turki. Bukankah dengan menganggap Indonesia dikuasai Belanda selama 350 tahun
berarti kita juga menganggap Aceh sudah lama dikuasai Belanda, sehingga
Kesultanan Aceh dan perlawanan Tjoet Njak Dien kehilangan maknanya.
Kesalahan lain adalah menyebut
“Indonesia”. Seolah-olah Indonesia sudah lama ada dan dijajah Belanda selama
350 tahun. Indonesia baru lahir pada 17 Agustus 1945. Sebelum itu adalah Hindia
Belanda, dan sebelumnya pada abad ke-19 adalah Kesultanan Aceh, Kerajaan Bone,
Kerajaan Klungkung, dan lain-lain. Indonesia sebagai sebuah negara, belum ada.
Ada pula pendapat yang
menampilkan Belanda sebagai penjajah yang tidak mengalami perubahan dalam kurun
waktu tiga setengah abad. Ini jelas tidak benar. Yang mulai menjajah sebenarnya
adalah sebuah perusahaan multinasional bernama VOC atau gampangnya Kumpeni.
Selama abad 17 dan 18, Belanda merupakan republik. Ketika VOC bangkrut,
jajahannya diambil alih oleh Belanda yang masih belum bercorak monarki.
Kemudian muncul apa yang disebut interregnum (penguasaan sela) Inggris
pada awal abad ke-19 dengan Sir Thomas Stanford Raffles sebagai gubernur
jenderal. Pada waktu itu Belanda sendiri dijajah oleh Napol on.
Ketika Belanda merdeka dari
jajahan Prancis dan berubah menjadi kerajaan serta Inggris mengembalikan
Nusantara, Belanda benar-benar menguasai Indonesia pada 1813. Tak lama kemudian
dengan memberlakukan Tanam Paksa, alam dan rakyat Jawa langsung dijadikan sapi
perahan. Sebagai kerajaan, wilayah Belanda masih mencakup wilayah Belgia.
Keduanya masih satu kerajaan. Bahkan salah satu gubernur Hindia Belanda pada
awal abad ke-19, Leonard du Bus de Gisignies, adalah orang Belgia.
Jangan-jangan ini berarti kita juga pernah dijajah Belgia? Pada 1830 Belanda
kembali mengalami perubahan karena Belgia memisahkan diri.
Nah, kalau hanya menyebut
Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun, selain jangka waktu itu salah,
pelbagai perubahan penting yang terjadi di Belanda selama kurun waktu tiga
setengah abad akan luput dari sudut pandang kita. Bagaimana membicarakan
kolonialisme Belanda tanpa terjebak dalam pelbagai kesalahan tadi? Jangan
khawatir: tanpa menyebut durasinya, kita masih tetap bisa menuding banyak
keburukan kolonialisme Belanda di Indonesia. Salah satunya, dan ini jarang
sekali diungkap orang adalah Tanam Paksa.
Orang Belanda sendiri mengakui
betapa Tanam Paksa merupakan cara menyedot kekayaan dari wilayah jajahan.
Bahkan sampai Cees Fasseur pun, sejarawan konservatif Belanda, mengakui hal
itu. Katanya, berkat apa yang disebut Indische baten (keuntungan
Hindia), Belanda bisa membangun jaringan kereta api yang sampai sekarang masih
dipergunakan. Demikian pula dua jalan air penting Belanda, Noordzeekanaal dan
de Nieuwe Waterweg, dibangun dengan keuntungan Hindia itu.
Anehnya, walaupun sudah mengakui
keburukan Tanam Paksa, orang Belanda tetap saja menggunakan istilah Cultuurstelsel
yang tak lain adalah bahasa pejabat pada abad ke-19 ketika politik memaksa
petani Jawa ini dilancarkan. Ini juga bisa kita tudingkan pada mereka. Kalau
sudah tahu buruknya, mengapa tidak menggunakan istilah Tanam Paksa saja yang
dalam bahasa Belandanya adalah gedwongen coffieteelt? Di Belanda, baru
Jan Breman yang menggunakan istilah ini. Pakar sosiologi pedesaan ini sekarang
terlibat dalam polemik sengit dengan Cees Fasseur soal Tanam Paksa. Fasseur berpendapat,
walaupun dirugikan, tapi petani Jawa masih sedikit memperoleh manfaat Tanam
Paksa ketika hasil panen mereka dijual ke pasar internasional.
Breman tidak setuju, integrasi
ke pasar dunia itu menurutnya malah memiskinkan. Mengutip seorang pejabat kolonial
yang mbalelo, Breman dalam buku terbarunya mengenai Tanam Paksa di
Pasundan menulis bahwa petani Zeeland (Belanda tenggara) pasti tidak
akan mau kalau hasil panennya dijual di bawah harga pasar. Lebih dari itu,
pelbagai pembatasan lain yang diterapkan penguasa kolonial terhadap warga
beberapa desa Pasundan pada abad ke-18 merupakan semacam laboratorium untuk
mengembangkan apartheid yang pada abad ke-20 berlaku di Afrika Selatan.
Hal lain yang bisa kita
tudingkan ke hidung orang Belanda adalah kenyataan bahwa mereka tidak pernah
mengakui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Bagi Belanda, Indonesia baru
merdeka pada 27 Desember 1949, ketika Den Haag menyerahkan (bagi kita mengakui)
kedaulatan Republik Indonesia Serikat dalam sebuah upacara di Istana De Dam,
Amsterdam. Beda lima tahun itu adalah upaya gagal mereka merebut kembali
Indonesia yang sudah memproklamasikan kemerdekaannya. Baru pada 2005, ketika
hari ulang tahun proklamasi ke-60, Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot
hadir pada upacara detik-detik proklamasi. Sebagai menlu pertama Belanda yang
hadir pada upacara itu, dia menyatakan mengakui secara moral proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pernyataan ini tidak tegas dan sangat mengambang.
Apa maksudnya “mengakui secara
moral” itu? Mengapa tidak langsung saja mengakui proklamasi kemerdekaan kita?
Ada yang menafsirkan ucapan semacam ini tidak lebih dari tameng untuk
melindungi negara (tentu saja negara Belanda) dari kemungkinan tuntutan
pengadilan yang diajukan kalangan bekas pegawai negeri Hindia Belanda. Selama
penjajahan Jepang misalnya pemerintah Belanda tidak menggaji mereka lagi.
Padahal mereka belum dipecat sebagai pegawai negeri. Dihalangi oleh
kemungkinan-kemungkinan semacam ini Belanda pada akhirnya tidak pernah bisa
tegas dan jelas dalam berhubungan dengan Indonesia. Rasanya seperti maju kena,
mundur kena.
Melalui dua contoh di atas
–sebenarnya contoh itu masih banyak– kita diajak untuk melek sejarah supaya
paham, sadar dan bisa menerima bahwa dalam sejarah tidak ada yang statis dan
tidak berubah. Indonesia baru lahir setelah Proklamasi 17 Agustus, sebelum itu
Indonesia adalah Hindia Belanda yang dijajah Belanda. Tetapi selama penjajahan
itu banyak terjadi perubahan dan itu bukan hanya berlangsung di Hindia Belanda
melainkan juga di Belanda.
Sekarang Indonesia sudah
merdeka, akankah perubahan itu berhenti seperti sering kita dengar dalam slogan
NKRI harga mati? Silakan memikirkan dan menjawabnya sendiri. Yang jelas Timor
Timur sekarang sudah jadi Timor Leste, itu karena Orde Baru sudah jatuh.
Mungkinkah kita menghentikan perubahan. Yang pasti, sejarah sebagai penjelas
masa kini yang juga berarti perubahan, pergeseran dan perkembangan pemikiran
tetap asing bagi kita.
Sumber
: http://historia.id/modern/mitos-350-tahun-penjajahan
No comments:
Post a Comment