Berkat
kebohongan, peristiwa sakral Proklamasi 17 Agustus 1945 dapat didokumentasikan
dan disaksikan oleh kita hingga kini. Saat tentara Jepang ingin merampas
negatif foto yang mengabadikan peristiwa penting tersebut, Frans Mendoer,
fotografer yang merekam detik-detik proklamasi, berbohong kepada mereka. Dia
bilang tak punya negatif itu dan sudah diserahkan kepada Barisan Pelopor,
sebuah gerakan perjuangan. Mendengar jawaban itu, Jepang marah besar. Padahal
negatif film itu ditanam di bawah sebuah pohon di halaman kantor harian Asia
Raja. Setelah Jepang pergi, negatif itu diproses dan dipublikasikan secara luas
hingga bisa dinikmati sampai sekarang. Bagaimana kalau Mendoer bicara jujur pada Jepang?
Proklamasi Kemerdekaan Bangsa
Indonesia merupakan peristiwa sakral dan mengharukan bagi bangsa Indonesia.
Peristiwa tersebut tentu tak akan terlupa dan tak ternilai harganya. Usaha
untuk mencapainya sangatlah berat karena didahului dengan perbedaan pendapat
antara golongan tua dan golongan muda. Oleh karena itu, setelah terlaksananya
proklamasi tersebut, semua rakyat Indonesia merasa lega. Mereka merasakan
kebebasan yang sudah diperjuangkan dan didamba-dambakan selama beratus-ratus
tahun, hidup tanpa penjajahan. Peristiwa Proklamasi itu dapat membangkitkan
semangat rakyat Indonesia untuk terus berjuang dan dapat memunculkan rasa cinta
tanah air di jiwa setiap rakyat Indonesia.
Aminudin TH. Siregar menuturkan
bahwa peringatan kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan monumen kolektif
terbesar yang secara efektif didistribusikan ke setiap kepala manusia Indonesia
agar terus menerus diingat. Setiap orang, di kampung-kampung, di kota, di jalan
raya, di pusat perbelanjaan dikepung mitos kemerdekaan. Di mana-mana, orang
bergotong-royong membangun gapura di mulut gang, jalan kecil lengkap dengan
bambu runcing, lalu beberapa sekuel ilustrasi pejuang yang berlumuran darah.
Heroik. Tak ada yang berubah darah, ikat kepala merah-putih, dan bambu runcing
kepalang menjadi penanda (ikon) bagi konstruksi mitos tersebut. Surat kabar
nasional menurunkan ironi biografi pejuang yang sekarang hidup miskin.
Kemerdekaan, atau tepatnya momen kemerdekaan sebagai monumen ingatan
sesungguhnya bersanding dalam satu sisi dengan monumen lupa.
Tentu, ingatan generasi sekarang
akan jauh berbeda dengan ingatan generasi yang mengalami revolusi itu sendiri.
Begitu pula kadar untuk melupakannya. Satu contoh ironi yang selalu dilupakan
orang dalam “mengingat” peristiwa kemerdekaan adalah foto peristiwa proklamasi.
Salah satu karya foto yang monumental dalam sejarah kemerdekaan Indonesia
adalah foto yang dijepret oleh Frans Soemarto Mendur, seorang wartawan IPPHOS
(Indonesia
Press Photo Services).
Foto tersebut memuat adegan
pembacaan teks proklamasi dan pengibaran bendera merah putih sebagaimana yang
kita saksikan di dalam buku-buku sejarah perjuangan. Itu adalah satu-satunya
foto yang menjadi dokumentasi terpenting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Sangat disayangkan dan sungguh ironis, tidak ada dokumentasi lain yang kita
miliki seputar pemotretan proklamasi kemerdekaan selain jepretan Frans itu.
Bayangkan kalau Frans luput menjepret. Jangan-jangan proklamasi kemerdekaan
kita hanya berlalu dari mulut ke mulut.
Lalu siapakah Frans Mendur itu?
Mungkin tak banyak rakyat Indonesia kenal dan tahu mengenai Frans Mendur, tidak
sefamiliar nama Bung Karno atau Bung Hatta. Yah, namanya memang tak terlalu
populer. Tapi jasanya akan (harus) selalu dikenang oleh rakyat Indonesia,
karena berkat Frans, putra kelahiran Sulawesi Utara yang berusia 32 tahun itu,
sejarah Indonesia tidak mati dan dapat dilihat oleh rakyat Indonesia pada jaman
sekarang.
Frans
Soemarto Mendur (1913-1971) adalah salah satu fotografer yang mengabadikan
detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Bersama Alexius Impurung Mendur, saudara kandungnya, Frans Mendur membuat
sejarah Indonesia dapat tervisualisasikan dan dapat dilihat oleh generasi
penerus bangsa Indonesia walaupun hanya beberapa jepretan saja.
No comments:
Post a Comment