Tuesday, October 18, 2016

Sejarah Keluarnya Kerinci dari Provinsi Sumatera Barat ke Provinsi Jambi

Banggasejarah - Menurut Tambo Minangkabau, tanah Kerinci adalah bagian dari Rantau Minangkabau.[1] Dalam tambo tersebut dikatakan bahwa rantau pesisir alam Minangkabau meliputi wilayah-wilayah sepanjang pesisir barat Sumatera Bagian tengah, mulai dari Sikilang Air Bangis, Tiku, Pariaman, Padang, Bandar Sepuluh, Air Haji, Inderapura, Muko-muko, dan Kerinci.

Namun, pendapat lain mengatakan bahwa Kerinci merupakan daerah tersendiri dan tidak termasuk dalam rantau Minangkabau. Kerinci merupakan sebuah alam tersembunyi yang terletak di pedalaman Pulau Sumatera. Wilayahnya terdiri dari daerah di sepanjang aliran Sungai Batang Merangin, mulai dari kaki Gunung Kerinci hingga ke sekitar hulu Sungai Batang Tembesi.[2]

Terkait pemerintahan dari segi historis, Kerinci telah mengalami banyak pergantian status kekuasaan. Pada 1903 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Landschap Kerinci yang berada dibawah Keresidenan Sumatera Barat.[3] Status tersebut tidak bertahan lama karena pada tahun 1906 Pemerintah Kolonial mendirikan keresidenan baru bernama Keresidenan Jambi. Kerinci dimasukkan kedalamnya dengan status sebagai Afdeeling Kerinci.[4]

Karena berbagai kepentingan, pada tahun 1935 Kolonial Belanda kembali merombak status daerah kekuasaannya di Kerinci dengan menariknya kembali ke Keresidenan Sumatera Barat. Setelah bergabung ke Sumatera Barat, Kerinci diberi status daerah administratif setingkat district yang merupakan bagian dari Onderafdeeling Kerinci-Inderapura dalam lingkungan Afdeeling Zuid Benedenlanden.[5] Hingga periode awal kemerdekaan Republik Indonesia, Kerinci masih bergabung dengan Sumatera Barat dalam lingkungan Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci.

Tuntutan akan terwujudnya desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia pada era 1950-an menjadi sebuah babak sejarah yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Pada saat itu, sentralisasi yang dianut negeri ini dianggap hanya menguntungkan pusat, sehingga pembangunan tidak merata antara pusat dan daerah. Salah satu keberatan utama daerah adalah banyak penghasilan ekspor disalurkan ke pusat dan tidak ada keuntungan ekonomi bagi daerah. Sehingga daerah menagih agar provinsi-provinsi diberi otonomi yang luas dalam urusan keuangan dengan membuat keseimbangan yang lebih adil antara pusat dan daeah.[6]

Keadaan ini juga terjadi di lingkungan yang lebih kecil yaitu Provinsi Sumatera Tengah. Hal itu yang coba dimanfaatkan beberapa daerah di Sumatera Tengah untuk melepaskan diri dari dominasi Minangkabau, termasuk Kerinci.

Perjuangan masyarakat Kerinci dalam mewujudkan terbentuknya daerah otonom yang luas diawali dengan penyampaian resolusi oleh Persatuan Rakyat Kerinci Hilir sebagai hasil dari rapat yang diadakan pada tanggal 28 Maret 1954. Dengungan diatas sempat melemah pada tahun 1955 disebabkan konsentrasi masyarakat telah beralih pada kegiatan pemilihan umum. Setelah pemilu selesai diadakan, gema tuntutan pembentukan kabupaten kembali bergaung di Kerinci.[7]

Harapan yang diberikan Dewan Banteng kepada Kerinci untuk pembentukan daerah otonomi tidak kunjung dilaksanakan. Maka dari itu, sejalan dengan rencana pembentukan Provinsi Jambi, Kerinci menyatakan diri ingin bergabung dengan Jambi. Keputusan Kerinci bergabung dengan Jambi tidak terlepas dari sejarah Kerinci yang pernah menjadi bagian Keresidenan Jambi bentukan Pemerintah Kolonial Belanda. Kerinci bersama Afdeeling Djambische Bovenlanden dan Djambische Benedenlanden turut digabungkan kedalamnya.[8]

Keputusan Kerinci bergabung dengan Jambi seolah melakukan pengulangan sejarah. Jika kita melihat wilayah-wilayah antara Keresidenan Jambi dengan wilayah-wilayah saat pembentukan Provinsi Jambi, maka didapat kesamaan. Afdeeling Kerinci, Djambische Bovenlanden, dan Djambische Benedenlanden sangat identik dengan kabupaten-kabupaten saat Provinsi Jambi pertama kali berdiri.[9]

Forum Kongres Sakti Alam Kerinci pada tanggal 12 Januari 1957 adalah ujung tombak diikrarkannya pembentukan Kabupaten Kerinci. Kongres yang dihadiri oleh wakil rakyat dari segala golongan ini akhirnya menetapkan beberapa buah hasil musyawarah yang diantaranya bahwa daerah Kerinci telah memenuhi persyaratan dalam membentuk daerah otonomi baru. Sehingga usulan ini perlu diperjuangkan kembali.

Segera setelahnya, keluarlah sebuah Undang-undang Darurat menjelaskan bahwa Provinsi Sumatera Tengah telah dipecah menjadi tiga provinsi baru, termasuk diantaranya adalah Provinsi Jambi. Dalam Undang-undang Darurat tersebut dijelaskan bahwa Daerah tingkat I Jambi, wilayahnya meliputi wilayah-wilayah Kabupaten Batang Hari dan Merangin, dengan ditambahkan  tiga kecamatan-kecamatan yaitu Kecamatan Kerinci Hulu, Kerinci Tengah, dan Kerinci Hilir, serta satu Kotapraja Jambi.[10]

Kabupaten Kerinci baru berdiri setelah dikeluarkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 1958.[11] Tanggal 10 November 1958 oleh Gubernur Provinsi Jambi, M. Yusuf Singadekane atas nama Menteri Dalam Negeri, bertempat di Sungai Penuh meresmikan berdirinya Kabupaten Kerinci. Saaat itu Kabupaten Kerinci terdiri dari tiga wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Kerinci Hulu, Kerinci Tengah, dan Kerinci Hilir. Ibukota Kabupaten Kerinci pada masa awal pembentukannya berada di Sungai Penuh.

Keluarnya Kabupaten Kerinci dari Sumatera Barat dan bergabung dengan Jambi sepenuhnya merupakan kebijaksanaan pemerintah pusat maupun daerah dengan memperhatikan berbagai aspek dan kriteria pertumbuhan. Dalam prosesnya berdasarkan kepada perundang-undangan dan sesuai dengan kaidah-kaidah administrasi pemerintahan. Dalam hal ini, daerah hasil pemekaran akan mengalami banyak perkembangan dan pertumbuhan yang akhirnya juga akan berdampak kepada masyarakat.


[1] Gusti Asnan, Memikir Ulang Regionalisme : Sumatera Barat Tahun 1950-an, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007). hal. 54.
[2] Idris Djakfar Depati Agung, Menguak Tabir Prasejarah di Alam Kerinci, (Sungai Penuh : Pemerintah Kabupaten Kerinci, 2001), hal. 13.
[3] Landschap adalah suatu wilayah administratif (setingkat distrik) pada masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, yang biasanya diperintah oleh seorang penguasa lokal pribumi setempat yang mau diajak bekerjasama dengan kolonial.
[4] Idris Djakfar Depati Agung, Op.cit. Hal. 19.
[5]  Gusti Asnan, 2007, Op.cit. Hal. 237.
[6] Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi : Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926 – 1998, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2008), hal. 291.
[7]  Gusti Asnan, 2007, Op.cit, Hal. 236.
[8]  Idris Djakfar Depati Agung, Op.cit. Hal. 18.
[9]  Afdeeling Kerinci adalah Kabupaten Kerinci, Afdeeling Djambische Bovenlanden adalah Kabupaten Merangin, dan Afdeeling Djambische Benedenlanden adalah Kabupaten Batanghari.
[10]  Undang-undang Darurat Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat I Sumatera Barat, Jambi, dan Riau.
[11] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 1958 tentang Penetapan "Undang-undang Darurat No. 21 Tahun 1957 tentang Pengubahan Undang-undang No. 12 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat II dalam Lingkungan Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Tengah. Pasal 1 poin c.

No comments:

Post a Comment