Banggasejarah - Menurut
Tambo Minangkabau, tanah Kerinci adalah bagian dari Rantau Minangkabau.[1]
Dalam tambo tersebut dikatakan bahwa
rantau pesisir alam Minangkabau meliputi wilayah-wilayah sepanjang pesisir
barat Sumatera Bagian tengah, mulai dari Sikilang Air Bangis, Tiku, Pariaman,
Padang, Bandar Sepuluh, Air Haji, Inderapura, Muko-muko, dan Kerinci.
Namun,
pendapat lain mengatakan bahwa Kerinci merupakan daerah tersendiri dan tidak
termasuk dalam rantau Minangkabau. Kerinci merupakan sebuah alam tersembunyi
yang terletak di pedalaman Pulau Sumatera. Wilayahnya terdiri dari daerah di
sepanjang aliran Sungai Batang Merangin, mulai dari kaki Gunung Kerinci hingga
ke sekitar hulu Sungai Batang Tembesi.[2]
Terkait
pemerintahan dari segi historis, Kerinci telah mengalami banyak pergantian
status kekuasaan. Pada 1903 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Landschap Kerinci yang berada dibawah
Keresidenan Sumatera Barat.[3] Status tersebut tidak bertahan lama
karena pada tahun 1906 Pemerintah Kolonial mendirikan keresidenan baru bernama
Keresidenan Jambi. Kerinci dimasukkan kedalamnya dengan status sebagai Afdeeling Kerinci.[4]
Karena
berbagai kepentingan, pada tahun 1935 Kolonial Belanda kembali merombak status
daerah kekuasaannya di Kerinci dengan menariknya kembali ke Keresidenan
Sumatera Barat. Setelah bergabung ke Sumatera Barat, Kerinci diberi status
daerah administratif setingkat district
yang merupakan bagian dari Onderafdeeling
Kerinci-Inderapura dalam lingkungan Afdeeling
Zuid Benedenlanden.[5]
Hingga periode awal kemerdekaan Republik Indonesia, Kerinci masih bergabung
dengan Sumatera Barat dalam lingkungan Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci.
Tuntutan akan
terwujudnya desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia pada era 1950-an
menjadi sebuah babak sejarah yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Pada
saat itu, sentralisasi yang dianut negeri ini dianggap hanya menguntungkan
pusat, sehingga pembangunan tidak merata antara pusat dan daerah. Salah satu keberatan
utama daerah adalah banyak penghasilan ekspor disalurkan ke pusat dan tidak ada
keuntungan ekonomi bagi daerah. Sehingga daerah menagih agar provinsi-provinsi
diberi otonomi yang luas dalam urusan keuangan dengan membuat keseimbangan yang
lebih adil antara pusat dan daeah.[6]
Keadaan ini juga
terjadi di lingkungan yang lebih kecil yaitu Provinsi Sumatera Tengah. Hal itu
yang coba dimanfaatkan beberapa daerah di Sumatera Tengah untuk melepaskan diri
dari dominasi Minangkabau, termasuk Kerinci.
Perjuangan
masyarakat Kerinci dalam mewujudkan terbentuknya daerah otonom yang luas
diawali dengan penyampaian resolusi oleh Persatuan Rakyat Kerinci Hilir sebagai
hasil dari rapat yang diadakan pada tanggal 28 Maret 1954. Dengungan diatas
sempat melemah pada tahun 1955 disebabkan konsentrasi masyarakat telah beralih
pada kegiatan pemilihan umum. Setelah pemilu selesai diadakan, gema tuntutan
pembentukan kabupaten kembali bergaung di Kerinci.[7]
Harapan yang
diberikan Dewan Banteng kepada Kerinci untuk pembentukan daerah otonomi tidak
kunjung dilaksanakan. Maka dari itu, sejalan dengan rencana pembentukan
Provinsi Jambi, Kerinci menyatakan diri ingin bergabung dengan Jambi. Keputusan
Kerinci bergabung dengan Jambi tidak terlepas dari sejarah Kerinci yang pernah
menjadi bagian Keresidenan Jambi bentukan Pemerintah Kolonial Belanda. Kerinci
bersama Afdeeling Djambische Bovenlanden
dan Djambische Benedenlanden turut digabungkan kedalamnya.[8]
Keputusan
Kerinci bergabung dengan Jambi seolah melakukan pengulangan sejarah. Jika kita
melihat wilayah-wilayah antara Keresidenan Jambi dengan wilayah-wilayah saat
pembentukan Provinsi Jambi, maka didapat kesamaan. Afdeeling Kerinci, Djambische Bovenlanden, dan Djambische Benedenlanden
sangat identik dengan kabupaten-kabupaten saat Provinsi Jambi pertama kali
berdiri.[9]
Forum Kongres Sakti Alam Kerinci pada tanggal
12 Januari 1957 adalah ujung tombak diikrarkannya pembentukan Kabupaten Kerinci.
Kongres yang dihadiri oleh wakil rakyat dari segala golongan ini akhirnya
menetapkan beberapa buah hasil musyawarah yang diantaranya bahwa daerah Kerinci telah memenuhi
persyaratan dalam membentuk daerah otonomi baru. Sehingga usulan ini perlu
diperjuangkan kembali.
Segera setelahnya, keluarlah sebuah
Undang-undang Darurat menjelaskan bahwa Provinsi Sumatera Tengah telah dipecah
menjadi tiga provinsi baru, termasuk diantaranya adalah Provinsi Jambi. Dalam
Undang-undang Darurat tersebut dijelaskan bahwa Daerah
tingkat I Jambi, wilayahnya meliputi wilayah-wilayah Kabupaten Batang Hari dan
Merangin, dengan ditambahkan tiga
kecamatan-kecamatan yaitu Kecamatan Kerinci Hulu, Kerinci Tengah, dan Kerinci
Hilir, serta satu Kotapraja Jambi.[10]
Kabupaten Kerinci baru berdiri setelah
dikeluarkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 1958.[11] Tanggal
10 November 1958 oleh Gubernur Provinsi Jambi, M. Yusuf Singadekane atas nama
Menteri Dalam Negeri, bertempat di Sungai Penuh meresmikan berdirinya Kabupaten
Kerinci. Saaat itu Kabupaten Kerinci terdiri dari tiga wilayah kecamatan, yaitu
Kecamatan Kerinci Hulu, Kerinci Tengah, dan Kerinci Hilir. Ibukota Kabupaten
Kerinci pada masa awal pembentukannya berada di Sungai Penuh.
Keluarnya Kabupaten Kerinci dari Sumatera
Barat dan bergabung dengan Jambi sepenuhnya merupakan kebijaksanaan pemerintah
pusat maupun daerah dengan memperhatikan berbagai aspek dan kriteria
pertumbuhan. Dalam prosesnya berdasarkan kepada perundang-undangan dan sesuai
dengan kaidah-kaidah administrasi pemerintahan. Dalam hal ini, daerah hasil
pemekaran akan mengalami banyak perkembangan dan pertumbuhan yang akhirnya juga
akan berdampak kepada masyarakat.
[1] Gusti Asnan, Memikir Ulang Regionalisme : Sumatera Barat
Tahun 1950-an, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007). hal. 54.
[2] Idris Djakfar Depati Agung, Menguak Tabir Prasejarah di Alam Kerinci,
(Sungai Penuh : Pemerintah Kabupaten Kerinci, 2001), hal. 13.
[3] Landschap adalah suatu wilayah administratif
(setingkat distrik) pada masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, yang biasanya
diperintah oleh seorang penguasa lokal pribumi setempat yang mau diajak bekerjasama
dengan kolonial.
[4] Idris Djakfar Depati Agung, Op.cit. Hal. 19.
[6] Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi : Sumatera Barat
dan Politik Indonesia 1926 – 1998, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia,
2008), hal. 291.
[9] Afdeeling Kerinci adalah Kabupaten Kerinci, Afdeeling Djambische Bovenlanden adalah
Kabupaten Merangin, dan Afdeeling
Djambische Benedenlanden adalah Kabupaten Batanghari.
[10] Undang-undang
Darurat Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan
Daerah-daerah Tingkat I Sumatera Barat, Jambi, dan Riau.
[11]
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 1958 tentang Penetapan "Undang-undang
Darurat No. 21 Tahun 1957 tentang Pengubahan Undang-undang No. 12 Tahun 1956
tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat II dalam Lingkungan Daerah Swatantra
Tingkat I Sumatera Tengah. Pasal 1 poin c.
No comments:
Post a Comment