Dari jaman prasejarah sampai
kedatangan orang Barat, sejarah Sumatera Barat dapat dikatakan identik dengan
sejarah Minangkabau. Walaupun masyarakat Mentawai diduga telah ada pada masa
itu, tetapi bukti-bukti tentang keberadaan mereka masih sangat sedikit.
Pada periode
kolonialisme Belanda, nama Sumatera Barat muncul sebagai suatu unit
administrasi, sosial-budaya, dan politik. Nama ini adalah terjemahan dari
bahasa Belanda de Westkust van Sumatra atau Sumatra's Westkust, yaitu
suatu daerah bagian pesisir barat pulau Sumatera.
Memasuki abad
ke-20 persoalan yang dihadapi Sumatera Barat menjadi semakin kompleks. Sumatera Barat tidak lagi identik
dengan
daerah budaya Minangkabau dan telah berubah menjadi sebuah mini Indonesia.
Di daerah ini bermukim sejumlah besar suku bangsa Minangkabau penganut sistem
matrilineal, suku bangsa Tapanuli dengan sistem patrilinealnya dan suku bangsa
Jawa dengan sistem parentalnya. Di samping itu juga ada
masyarakat Mentawai, Nias, Cina, Arab, India serta berbagai kelompok
masyarakat lainnya dengan berbagai latar belakang budaya yang beraneka ragam.
Di Sumatera Barat banyak ditemukan
peninggalan jaman prasejarah di Kabupaten 50 Koto, di daerah Solok Selatan dan
daerah Taram. Sisa-sisa peninggalan tradisi barn besar ini berwujud
dalam berbagai bentuk; bentuk barn dakon, barn besar berukir, barn besar
berlubang, barn rundell, kubur barn, dan barn altar, namun bentuk yang paling
dominan adalah bentuk menhir. Peninggalan jaman prasejarah lainnya yang juga
ditemukan adalah gua-gua alam yang dijadikan sebagai tempat hunian.
Bukti-bukti
arkeologis yang ditemukan di atas bisa memberi indikasi bahwa daerah-daerah
sekitar Kabupaten 50 Koto merupakan daerah atau kawasan Minangkabau yang
pertama dihuni oleh nenek moyang orang Sumatera Barat. Penafsiran ini rasanya
beralasan, karena dari daerah 50 Koto ini mengalir beberapa sungai besar yang
akhirnya bermuara di pantai timur pulau Sumatera. Sungai-sungai ini dapat
dilayari dan memang menjadi sarana transportasi yang penting dari jaman dahulu
hingga akhir abad yang lalu.
Nenek moyang
orang Minangkabau diduga datang melalui rute ini. Mereka berlayar dari daratan
Asia (Indo-Cina) mengarungi laut Cina Selatan, menyeberangi Selat Malaka dan
kemudian memudiki sungai Kampar, Siak, dan Indragiri (atau; Kuantan). Sebagian
di antaranya tinggal dan mengembangkan kebudayaan serta peradaban mereka di
sekitar Kabupaten 50 Koto sekarang.
Percampuran
dengan para pendatang pada masa-masa berikutnya menyebabkan tingkat
kebudayaan mereka jadi berubah dan jumlah mereka jadi bertambah. Lokasi
pemukiman mereka menjadi semakin sempit dan akhirnya mereka menyebar ke berbagai
bagian Sumatera Barat yang lainnya. Sebagian pergi ke daerah kabupaten Agam dan
sebagian lagi sampai ke Kabupaten Tanah Datar sekarang. Dari sini penyebaran
dilanjutkan lagi, ada yang sampai ke utara daerah Agam, terutama ke daerah
Lubuk Sikaping, Rao, dan Ophir. Banyak di antara mereka menyebar ke bagian
barat terutama ke daerah pesisir dan tidak sedikit pula yang menyebar ke
daerah selatan, ke daerah Solok, Selayo, sekitar Muara, dan sekitar daerah
Sijunjung.
Sejarah daerah
Propinsi Sumatera Barat menjadi lebih terbuka sejak masa pemerintahan Raja
Adityawarman. Raja ini cukup banyak meninggalkan prasasti mengenai dirinya,
walaupun dia tidak pernah mengatakan dirinya sebagai Raja Minangkabau. Adityawarman
memang pernah memerintah di Pagaruyung, suatu negeri yang dipercayai warga
Minangkabau sebagai pusat kerajaannya.
Adityawarman
adalah tokoh penting dalam sejarah Minangkabau. Di samping memperkenalkan
sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan, dia juga membawa suatu sumbangan
yang besar bagi alam Minangkabau. Kontribusinya yang cukup penting itu adalah
penyebaran agama Budha. Agama ini pernah punya pengaruh yang cukup kuat di
Minangkabau. Terbukti dari nama beberapa nagari di Sumatera Barat dewasa ini
yang berbau Budaya atau Jawa seperti Saruaso, Pariangan, Padang Barhalo,
Candi, Biaro, Sumpur, dan Selo.
Sejarah
Sumatera Barat sepeninggal Adityawarman hingga pertengahan abad ke-17
terlihat semakin kompleks. Pada masa ini hubungan Sumatera Barat dengan dunia
luar, terutama Aceh semakin intensif. Sumatera Barat waktu itu berada dalam
dominasi politik Aceh yang juga memonopoli kegiatan perekonomian di daerah
ini. Seiring dengan semakin intensifnya hubungan tersebut, suatu nilai baru
mulai dimasukkan ke Sumatera Barat. Nilai baru itu akhimya menjadi suatu
fundamen yang begitu kukuh melandasi kehidupan sosial-budaya masyarakat
Sumatera Barat. Nilai baru tersebut adalah agama Islam.
Syekh
Burhanuddin dianggap sebagai penyebar pertama Islam di Sumatera Barat. Sebelum
mengembangkan agama Islam di Sumatera Barat, ulama ini pernah menuntut ilmu di
Aceh.
Pengaruh
politik dan ekonomi Aceh yang demikian dominan membuat warga Sumatera Barat
tidak senang kepada Aceh. Rasa ketidakpuasan ini akhirnya diungkapkan dengan
menerima kedatangan orang Belanda. Namun kehadiran Belanda ini juga membuka
lembaran baru sejarah Sumatera Barat. Kedatangan Belanda ke daerah ini
menjadikan Sumatera Barat memasuki era kolonialisme dalam arti yang
sesungguhnya.
Orang Barat
pertama yang datang ke Sumatera Barat adalah seorang pelancong berkebangsaan
Prancis yang bernama Jean Parmentier yang datang sekitar tahun 1523. Namun
bangsa Barat yang pertama datang dengan tujuan ekonomis dan politis adalah
bangsa Belanda. Armada-armada dagang Belanda telah mulai kelihatan di pantai
barat Sumatera Barat sejak tahun 1595-1598, di samping bangsa Belanda, bangsa
Eropa lainnya yang datang ke Sumatera Barat pada waktu itu juga terdiri dari
bangsa Portugis dan Inggris.
sumber : http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/13/sumatera-barat
No comments:
Post a Comment