gambar dari kronosnews.com |
Memprihatinkan ketika melihat
kondisi bangunan peninggalan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di
Nagari Bidar Alam, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. Tampak kondisi
bangunan saksi sejarah PDRI tidak terawat. Sentuhan tangan pemerintah dari
kabupaten dan provinsi sangat kurang. Padahal kalau kita runut kembali sejarah,
tak dapat dipungkiri bahwa daerah ini pernah menjadi Ibu
Kota Negara Republik Indonesia.
Nagari Bidar Alam di Kabupaten Solok
Selatan, Sumatra Barat, merupakan saksi sejarah Republik Indonesia saat masa
darurat 1948. ketika itu Belanda menahan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden
Mohammad Hatta. Bila dibandingkan dengan lokasi lain yang disinggahi
Syafruddin, Bidar Alam merupakan tempat terlama yang disinggahinya, yakni 3,5
bulan.
Sejarah Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI) masih dilupakan banyak kalangan khususnya penguasa. Malahan tidak dianggap sebagai sebuah sejarah. Buktinya, posisi Sjarifuddin Prawiranegara yang menjadi pimpinan PDRI tidak pernah diakui.
Harus disadari, tanpa PDRI bangsa
Indonesia tidak akan ada lagi. Sebab setelah Jogjakarta direbut dalam agresi Belanda II tanggal 19 Desember 1948, presiden dan wakil presiden beserta beberapa menteri ditawan. Persis kekuasaan jadi fakum.
Menurut Ahmad Syafii Maarif, keynote
speaker dalam Peringatan Hari Ulang Tahun PDRI ke 56 di Bidar Alam, Kabupaten Solok Selatan selama tenggang waktu enam bulan 21 hari (22 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949), pusat pemerintahan Indonesia dialihkan ke tangan PDRI, pimpinannya adalah Sjafruddin
Prawiranegara, yang semula sebagai Menteri Kemakmuran dalam Kabinet Hatta.
Sekitar
satu bulan setelah agresi militer Belanda, dapat terjalin komunikasi antara
pimpinan PDRI dengan keempat Menteri yang berada di Jawa. Mereka saling
bertukar usulan untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan di Sumatera dan Jawa.
Setelah
berbicara jarak jauh dengan pimpinan Republik di Jawa, maka pada 31 Maret 1949 Prawiranegara
mengumumkan penyempurnaan susunan pimpinan Pemerintah Darurat Republik
Indonesia sebagai berikut:
- Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan,
- Mr. Susanto Tirtoprojo, Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan Menteri Pembangunan dan Pemuda,
- Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri (berkedudukan di New Delhi, India).
- dr. Sukiman, Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan.
- Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan.
- Mr. Ignatius J. Kasimo, Menteri Kemakmuran/Pengawas Makanan Rakyat.
- Kyai Haji Masykur, Menteri Agama.
- Mr. T. Moh. Hassan, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
- Ir. Indracahya, Menteri Perhubungan.
- Ir. Mananti Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum.
- Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Menteri Perburuhan dan Sosial.
Pejabat di bidang militer:
- Letnan Jenderal Sudirman, Panglima Besar Angkatan Perang RI.
- Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima Tentara & Teritorium Jawa.
- Kolonel R. Hidayat Martaatmaja, Panglima Tentara & Teritorium Sumatera.
- Kolonel Nazir, Kepala Staf Angkatan Laut.
- Komodor Udara Hubertus Suyono, Kepala Staf Angkatan Udara.
- Komisaris Besar Polisi Umar Said, Kepala Kepolisian Negara.
Kemudian tanggal 16
Mei 1949, dibentuk Komisariat PDRI untuk Jawa yang dikoordinasikan oleh
Mr. Susanto Tirtoprojo, dengan susunan sbb.:
- Mr. Susanto Tirtoprojo, urusan Kehakiman dan Penerangan.
- Mr. Ignatius J. Kasimo, urusan Persediaan Makanan Rakyat.
- R. Panji Suroso, urusan Dalam Negeri.
Selain
dr. Sudarsono, Wakil RI di India, Mr. Alexander Andries Maramis,
Menteri Luar Negeri PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India,
dan Lambertus N. Palar, Ketua delegasi Republik Indonesia di PBB,
adalah tokoh-tokoh yang sangat berperan dalam menyuarakan Republik Indonesia di
dunia internasional sejak Belanda melakukan Agresi Militer Belanda II.
Dalam situasi ini, secara de facto, Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Kepala
Pemerintah Republik Indonesia.
No comments:
Post a Comment