gambar dari bangderi.blogspot.com |
Pada awal kemerdekaan, landasan
kemerdekaan pers di Indonesia adalah konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950, yaitu
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Isi
pasal ini kemudian dicantumkan dalam UUD Sementara 1950. Awal pembatasan pers di masa demokrasi liberal adalah efek
samping dari keluhan wartawan terhadap pers Belanda dan Cina. Demokrasi liberal berakhir ketika Orde Lama
dimulai. Era demokrasi liberal adalah sejak Pemilu 1955 hingga Dekrit Presiden
1959.
Pada masa orde
lama kebebasan pers cukup dijamin, karena masa itu adalah masa dimana pers
merupakan sarana yang dipakai pemerintah maupun oposisi untuk menyiarkan kebijakannya
dan pers itu sendiri menjadi lebih berkembang dengan hadirnya proyek televisi
pemerintah yaitu TVRI. Sejak
tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar
hitam putih. Namun, karena TVRI adalah stasiun televisi milik negara, maka
pemerintah jugalah yang menguasainya.
Pada
masa orde baru, pers bisa dikatakan tidak ada fungsinya untuk warga negara.
Pers sangat terlihat hanya sebagai boneka penguasa. Tidak ada kebebasan
berpendapat yang dijanjikan pemerintah pada awal-awal kekuasaan orde baru.
Keberadaan pers diawasi secara ketat oleh pemerintah di bawah naungan
departemen penerangan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi hal – hal buruk
di dalam pemerintahan orde baru sampai di telinga masyarakat. Pers tidak bisa
melakukan apapun selain patuh pada aturan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Aspirasi masyarakat untuk pemerintah tidak tersalurkan sama sekali. Hal ini
dikarenakan komunikasi politik yang terjadi hanya top – down. Artinya pers
hanya sebagai komunikator dari pemerintah ke rakyat. Pers tidak dapat melakukan
fungsinya sebagai komunikator dari rakyat ke pemerintah. Selain itu,
pemberitaan yang disalurkan ke masyarakat mengenai pemerintah harus merupakan
berita – berita yang menjunjung tinggi keberhasilan pemerintah. Yang
diberitakan hanyalah sesuatu yang baik. Apabila suatu media nekat menerbitkan
pemberitaan–pemberitaan miring soal pemerintah, bisa di pastikan nasib media
tersebut berada di ujung tanduk.
Pers
pada masa orde baru sangat dikendalikan oleh pemerintah. Kontrol pemerintah
terhadap pers tidak dapat diragukan lagi, begitu juga dengan pengaruhnya.
Kebijakan–kebijakan yang dikeluarkan pemerintah orde baru sangat tidak
mendukung keberadaan pers. Salah satu contohnya adalah kebijakan SIUPP, yakni
Surat Izin untuk Penerbitan Pers, yang mana sangat tidak pro-pers. Pers
mengalami kesulitan saat dituntut untuk melaksanakan fungsi–fungsi yang secara
alamiah melekat padanya, khususnya fungsi mereka bagi masyarakat. Fungsi pers
bagi masyarakat adalah menampilkan informasi yang berdimensi politik lebih
banyak dibandingkan dengan ekonomi, dengan didominasi subyek negara serta
kecenderungan pers untuk lebih berat ke sisi negara harus dilakukan dengan cara
lebih memilih realitas psikologis dibanding dengan realitas sosiologis.
Sesungguhnya
pada masa orde baru terdapat lembaga yang menaungi pers di Indonesia, yaitu
Dewan Pers. Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers adalah lembaga
independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan
kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Namun sangat
disayangkan bahwa dewan pers masa orde baru tidak melaksanakan fungsinya dengan
efektif. Ironisnya, dewan pers justru tidak melindungi rekan sesama jurnalis.
Hal tersebut terlihat saat peristiwa pembredelan media tahun 1994. Banyak
anggota dewan pers yang tidak meyetujui pemberedelan tersebut, namun dewan pers
dipaksa menyetujui langkah pemerintah tersebut. Tidak ada yang bisa dilakukan
dewan pers selain mematuhi instruksi pemerintah. Menolak sama artinya dengan
melawan pemerintah. Bisa disimpulkan keberadaan dewan pers masa orde baru hanya
sebatas formalitas.
dari berbagai sumber
No comments:
Post a Comment