Sejak tahun 1800, blokade Inggris
terhadap Belanda semakin memuncak. Kedudukan-kedudukan Belanda yang ada di luar
Jawa (hanya Ambon yang agak kuat) diserang Inggris. Sehubungan dengan sentralisasi kekuasaan yang
semakin besar, maka Napoleon Bonaperte mengangkat adiknya, Louis Napoleon
sebagai penguasa di negeri Belanda pada tahun 1806. Pada tahun 1808, Louis
mengirim Marsekal Herman Willem Daendels ke Batavia untuk menjadi Gubernur
jenderal (1808-1811) dan untuk memperkuat pertahanan Jawa sebagai basis melawan
Inggris di Samudera Hindia.
Dalam perjalanannya Daendels tidak
membawa pasukan baru bersamanya bahkan memakai bendera Amerika untuk
menghindari serangan atau hadangan Inggris di India. Dengan tidak adanya
pasukan yang dibawa dia segera membentuk pasukan yang terdiri dari sebagian
besar terdiri atas orang-orang Indonesia, berjumlah dari 4000 menjadi 18000
orang
Pada 1811, Thomas Stamford Raffles
disertakan dalam rombongan ekspedisi ke tanah Jawa sebagai Letnan Gubernur di
bawah perintah Gubernur Jenderal (di India) Sir Gilbert Elliot
Murray-Kynyn-mond atau yang lebih dikenal dengan nama Lord Minto, hingga 1817.
Lord Minto menyukai Raffles karena kecerdikanya, keterampilan, dan kemampuannya
dalam berbahasa Melayu, sehingga ia dikirim ke Malaka. Tidak lama setelah tiba
di tanah Jawa pasca Perancis menguasai Kerajaan Belanda, Raffles mengatur
ekspedisi melawan militer Belanda di Jawa. Penyerbuan itu dipimpin oleh Admiral
Robert Stopford, Jenderal Watherhall, Kolonel Gillespie
Dengan berakhirnya kekuasaan
Belanda-Prancis, maka diadakanlah perjanjian kapitulasi tuntang, pada tanggal
18 September 1811 sebagai berikut :
1. Seluruh Jawa diserahkan kepada
Inggris.
2. Semua serdadu menjadi tawanan dan
semua pegawai yang mau kerja sama dengan Inggris, dapat memegang jabatan terus.
3. Semua hutang-piutang pemerintah
belanda yang dulu, tidak akan ditanggung oleh Inggris.
Seminggu sebelum Kapitulasi Tuntang,
Raffles telah diangkat sebagai Letnan Gubernur Jenderal namun pusat kendali
tetap berada di Calcuta
Thomas
Stamford Raffles pernah menjadi Gubernur Jenderal pada masa yang sangat singkat
di Jawa yaitu mulai tahun 1811 sampai dengan 1816. Selama kepemimipinannya,
Raffles mengubah sistem tanam paksa (culture
stelsel) yang diberlakukan colonial Belanda, yaitu sistem kepemilikan
tanah yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh tulisan awal Dirk van Hogendorp,
dengan kebijakan landrente.
13 agustus
1814 diberlakukan konvensi London yang memuat bahwa seluruh wilayah yang pernah
dikuasai Belanda harus dikembalikan kepada pihak Inggris tetapi tidak berlaku
atas Bangka, Belitung, dan Bengkulu. Sebenarnya Raffles tidak menerima hal ini
karena kekayaan Hindia-Belanda sanagat menguntungkan pihak Inggris, naumun ia
terpaksa menandatanganinya yang merupakan bagian dari penyusunan kembali secara
menyeluruh urusan-urusan Eropa setelah perang-perang Napoleon. Raffles akhirnya
ditarik kembali ke Inggris dan digantikan oleh John Fendall yang melaksanakan
keputusan konvensi London sekaligus serah terimanya. Tahun 1818 Raffles kembali
ke timur untuk Jabatan barunya yaitu menjadi Gubernur Bengkulu. Setelah setahun
pemerintahannya ia menggagas proyek bernama Singapore. Proyek mercusuar ini
adalah pelampiasan dari rasa kekecewaannya karena penyerahan tanah Jawa kepada
Belanda. Diapun akhirnya terkenal sekali sebagai pendiri Singapura.
Di Bengkulu
Raffles mendirikan benteng Inggris paling besar kedua di Asia Pasifik, setelah
benteng utamanya di India. Dari pendirian benteng yang permanen, kokoh dan
multifungsi itu dapat dipastikan kalau Raffles memiliki cita-cita di kawasan
ini. Karena parahnya gejolak politik yang mendera Eropa pada tahun 1823 ia
terpaksa untuk meninggalkan Sumatra. Namun Raffles sempat mewujudkan obsesinya
di Singapura dan dalam proyek botani dan satwa Hindia Timur, terutama di pulau
Sumatra. Tonggak imperalis Inggris ini menggagas pendirian Raffles Museum di
Singapura. Misinya adalah mencatat dan mendokumentasikan binatang dan tanaman
khas yang terdapat di pulau Jawa dan Sumatra. Salah satunya adalah jenis
tanaman bunga sekaligus nama Raffles diabadikan sebagai nama bunga itu, yaitu Rafflesia Arnoldii.
Berakhirnya
pemerintahan Raffles karena kondisi eropa sudah tidak mendukung. Kedudukan
Napoleon telah goyah, dan Belanda telah bangkit untuk melawan Perancis.
Ujungnya terselesaikan pada 1824 yang disepakati di London. Britania berjanji
tidak akan lagi campur tangan di Sumatra atau pulau-pulau lain di kepalauan
Indonesia. Begitu juga orang Belanda berjanji menghormati kemerdekaan Aceh,
tapi sekaligus bertekad melindungi pelayaran di sekitar ujung utara Sumatra
dari perompak-perompak Aceh. Perjanjian 1824 mengakhiri kekuasaan Britania atas
Bengkulu (Vlekke, 2008). Hingga akhirnya Nusantara kembali di bawah kekuasaan
Belanda yang dengan sistimatik menguras serta mengkulikan penduduk Nusantara seperti yang
dilakukanya sebelum Inggris datang.
dari berbagai sumber
No comments:
Post a Comment